Skip to content

Organisasi Part 1 (Organization Performance)

20 October 2010

Ffiuhh.. Akhirnya beres juga tulisan ini setelah more than two weeks disusun disela tugas kuliah. Maaf buat Mas Chan, sy dh molor2in waktu.. =p Klo tugas kuliah, udah ilang mark nih saya. Ehehehehe..

Latar belakang penulisan ini bermula dari sebuah imel dari milis yg saya ikuti yg mengomentari kebijakan oragnisasi tempat sy bernaung saat saya masih muda (sekarang rada tua sedikit) diikuti dengan request mantan ketua oragnisasi yg berbeda namun masih dibawah naungan organisasi besar yang sama (yang juga saya pernah bernaung didalamnya). Selidik punya selidik, ternyata (menururt pemahaman saya) ada kesamaan permasalahan dalam organisasi yg berembel-embel semi otonom ini. Jadilah saya berniat sedikit mencurahkan pemikiran dangkal saya ditambah sedikit ilmu yg pernah saya pelajari waktu kuliah.

Pertama-tama yg perlu kita tahu dahulu tentu, apa itu organisasi semi-otonom. Based on Wikipedia “Autonomy is a concept found in moral, political, and bioethical philosophy. Within these contexts, it refers to the capacity of a rational individual to make an informed, un-coerced decision. In moral and political philosophy, autonomy is often used as the basis for determining moral responsibility for one’s actions” (Wikipedia, 2010) Jadi secara kasar otonomi adalah kemampuan secara individu (dalam hal organisasi berarti secara mandiri) untuk menentukan arahnya sendiri tanpa paksaan dari pihak manapun. Dan “semi” diartikan sebagian, dengan maksud tidak sepenuhnya menggunakan konsep sebelumnya (yaitu otonomi).

Dalam konteks organisasi tempat sy pernah berkegiatan ini, organisasi semi-otonom berafiliasi dengan organisasi induknya. Dalam pengalaman saya (CMIIW), organisasi ini memiliki kewenangannya sendiri namun tidak ada ikatan ataupun suatu acuan berkegiatan sendiri (dalam hal ini berupa AD/ARD), tapi mengacu kepada organisasi induk. Dengan kondisi seperti ini setidaknya ada beberapa permasalah yg kerap kali muncul, yaitu:

  • Konsistensi berkegiatan (bisa dibilang sustainability)
  • Demand resources terhadap organisasi utama yg lebih tinggi dibanding organisasi semi-otonom ini

Mari bahas satu persatu permasalahan ini dari kacamata awan dan sok tahu ini. Ehehehe.

Organization Performance

Dalam setiap oragnisasi pasti punya stakeholders. Khusus di kasus ini ada tiga, yaitu alumni, pengurus dan anggota. Each of them punya proporsinya masing2. Disini saya coba memposisikan setiap stakeholders ini.

Sebagai alumni, tentunya orang dalam kategori ini pernah menjadi pengurus atau minimal anggota. Dan tentunya melewati fase-fase pembentukan organisasi. Sifat stakeholder dalam posisi ini adalah sebgai golongan yg punya power. Power apa? Power to get people to do things. Karena umumnya sudah berpengalaman dan tentu tau apa yg harus dilakukan dengan berbagai kondisi yg pernah dihadapi. Namun kelompok ini sama sekali tidak punya authority. Authority yg dimaksud adalah rights to get people to do things. Why? Karena pada dasarnya kelompok ini sudah tidak memiliki kepentingan structural terhadap organisasi.

Pengurus dan anggota. Sebagai orang-orang yang terlibat secara structural didalam organisasi, kelompok ini yg memiliki authority di organisasi. Namun sering kali kelompok ini lack of power. Why? Bisa karena pengalaman, bingung apa yg mau dilakukan, or bingung mulai dari mana.

Permasalahan umumnya muncul ketika eks-pengurus menjadi alumni dan merasa apa yg sudah dikerjakan menjadi kembali ke titik nol karena kepengurusan baru tidak melanjutkan apa yang sudah dirintis sejak para alumni tersebut menjadi pengurus atau anggota. Ibaratnya, setiap sesi kepengurusan berputar-putar dihal yang sama. I.e. pendanaan, koneksi, dll. Sistem yg ada tidak menunjang sustainability organisasi itu sendiri. Kenapa? Karena kekuasaan dari organisasi induk untuk bisa menentukan bentuk organisasi semi-otonom saat kepengurusan mereka (kasarnya sih diobok-obok mau jadi organisasi apa dia, semi otonom dibawah departemen, jadi biro, etc). Tidak adanya kekuatan hukum yg bisa menjadi pedoman pengembangan organisasi ini lah yg akibatnya organisasi semi-otonom kembali berkutat dipermasalahan yg sama setiap kepengurusannya. Dan menjadi oragnisasi zombie yg bisa hidup dan mati kapan saja. Mengingat organisasi ini mengalir sangat cepat (hanay 1 tahun kepengurusan), tentunya sangat sulit untuk melaksanakan program jangka panjang tanpa pegangan yg tidak mudah digonta-ganti per-periode.

Jadi secara system, perlu adanya kepastian dalam berorganisasi agar organisasi semi-otonom ini bisa menjadi lebih sustain dan kontinyu sebelum berangkat ke masalah teknis. Entah itu berupa memasukkan elemen ini ke AD-ART oraganisasi induk, Maupun bikin AD/ART sendiri (munkin ngga ya?). Secara pribadi, akan lebih baik jika salah satu periode dikorbankan untuk membuat system yg sustain untuk keberlangsungan organisasi kedepannya daripada membuat program2 hebat di periode tersebut dan periode berikitnya pengurus yg baru menemui kendala yg sama.

Lalu berlanjut ke hubungan antar stake holders with their responsibilities and capabilities. Let’s see this diagram:

Dari diagram diatas, terlihat bahwa sinergi antara powerlah yg manejadi kekuatan dari organisasi. Both alumni dan pengurus (dengan berbagai kelebihannya) menjadi aset untuk memajukan organisasi. Alumsi sebagai elemen yg punya power lebih dan pengurus yg  punya authority lebih. Tapi seperti yg saya bilang sebelumnya, organisasi ini harus punya system yg menunjang hal ini bisa terlaksana secara kontinyu.

to be continued

Sumber: Human Resources Management Course, UNSW

No comments yet

Leave a comment